Kamis, 20 Maret 2014

Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Seorang Guru


KOMPETENSI  GURU
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Seorang guru harus memiliki 4 Kompetensi Dasar yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.
1.Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut;
  • Memahami peserta didik secara mendalam dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kepribadian.
·         Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran memiliki indikator menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, memahami sifat-sifat, karakter, tingkat pemikiran, perkembangan fisik dan psikis anak didik.
  •   kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
  • Melaksanakan pembelajaran memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
  • Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
·         guru perlu juga menguasai beberapa teori tentang pendidikan
·          guru diharapkan memahami bermacam-macam model pembelajaran. Kompetensi profesional meliputi: (1) menguasai landasan pendidikan, (2) menguasai bahan pembelajaran, (3) menyusun program pembelajaran, (4) melaksanakan program pembelajaran, dan (5) menilai proses serta hasil pembelajaran.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci subkompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
  • Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum, bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga sebagai guru dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
  • Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru.
  • Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah  dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
  • Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani.
  • Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong) dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.
·         Mempunyai aktualisasi diri yang tinggi. Aktualisasi diri yang sangat penting adalah sikap bertanggungjawab. Seluruh tugas pendidikan dan bantuan kepada anak didik memerlukan tanggungjawab yang besar.

3.Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:
  • Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.
  • Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan.
  • Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
·         Kompetensi sosial meliputi: memiliki empati pada orang lain, memiliki toleransi pada orang lain, memiliki sikap dan kepribadian yang positif serta melekat pada setiap kopetensi yang lain dan mampu bekerja sama dengan orang lain, berempati, dan pengendalian diri yang menonjol.
4. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya.
Keempat kompetensi tersebut di atas bersifat holistik dan integratif dalam kinerja guru. Oleh karena itu, secara utuh sosok kompetensi guru meliputi (a) pengenalan peserta didik secara mendalam; (b) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (disciplinary content) maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah (c) penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan; dan (d) pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara berkelanjutan. Guru yang memiliki kompetensi akan dapat melaksanakan tugasnya secara profesional.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah hasil dari penggabungan dari kemampuan-kemampuan yang banyak jenisnya, dapat berupa seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam menjalankan tugas keprofesionalannya.



Senin, 17 Maret 2014

Islam Rahmatan Lil'alamin


A.Pengertian Islam Rahmatan Lil’alamin
      1. Pengertian islam
Kata “islam” adalah kata bahasa arab yaitu “salima” Yaslamu, yang dimasdarkan menjadi “islaman” yang berarti damai.
Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 112 yang berbunyi :
4n?t/ ô`tB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC ÿ¼ã&s#sù ¼çnãô_r& yYÏã ¾ÏmÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts
Artinya : Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati.[1]
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.[2]
Hal senada dikemukakan Hammudah Abdalati kata “Islam” berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin, Lam, Mim) yang berarti kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan. Dalam pengertian religius, menurut Abdalati, Islam berarti "penyerahan diri kepada kehendak Tuhan dan ketundukkan atas hukum-Nya" (Submission to the Will of God and obedience to His Law).[3]
Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius dari kata Islam adalah erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri kepada kehendak Allah SWT dan ketundukkan atas hukum-Nya, maka seseorang dapat mencapai kedamaian sejati dan menikmati kesucian abadi.
Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan, Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Cukup banyak ahli dan ulama yang berusaha merumuskan definisi Islam secara terminologis. KH Endang Saifuddin Anshari mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan bahwa agama Islam adalah:
1.      Wahyu yang diurunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.
2.      Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala perikehidupan dan   penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya.
3.      Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
4.      Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariatm dan akhlak.
5.      Sumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah SAW.[4]   
       2. Pengertian rahmatan
Kata ‘rahmatan” kata bahas Arab yaitu “rohima” yang dimasdarkan menjadi “ rahmatan’ yang artinya kasih sayang.
      3. Pengertian lil’alamin
Kata “Al-alamin” adalah kata bahasa Arab yaitu “alam” yang dijama’kan menjadi “alamin” yang artinya alam semesta yang mencakup bumi beserta isinya.[5]
Maka yang dimaksud dengan islam rahmatan lil’alamin adalah islam yang kehadirannya ditengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang magi manusia maupun alam.[6]
Selama 15 abad-Islam di muka bumi ini, implementasi rahmat bagi semesta alam sudah meluas hampir ke berbagai belahan dunia. Secara etimologis, Islam berarti damai, sedangkan rahmatan lil `alamin berarti `kasih sayang bagi semesta alam'. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil'alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Rahmatan lil'alamin adalah istilah qurani dan istilah itu sudah terdapat dalam Alquran, yaitu sebagaimana firman Allah dalam Surat Al- Anbiya' ayat 107:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
Artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.[7]
Di sini Allah SWT berfirman bahwa Dia telah menciptakan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam  sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), artinya, Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang. Barangsiapa menerima rahmat ini dan berterima kasih atas berkah ini, dia akan bahagia di dunia dan akhirat. Namun, barangsiapa menolak dan mengingkarinya, dunia dan akhirat akan lepas darinya, seperti firman Allah SWT dalam surat ibrahim ayat 28-29:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّواْ قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِجَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ
Artinya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah (perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah) dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman
Dan Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an surat Fushilat ayat 44 :
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدًى وَشِفَآءٌ وَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ فِى ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُوْلَـئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ 
Artinya :Katakanlah: “Al Quraan itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quraan itu suatu kegelapan bagi mereka (tidak memberi petunjuk bagi mereka). Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.
Rahmat adalah karunia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua, rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat ammakulla syai', meliputi segala hal, sehingga orang-orang nonmuslim pun mempunyai hak kerahmanan. Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khoshushon lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, rahman dan rahim Allah akan turun semuanya.[8]

B.Fungsi Islam Untuk Rahmatan Lil’alamin
Umat Islam tentu meyakini misi rahmatan lil ‘alamin, sebab  istilah rahmatan lil-lamin telah dinyatakan oleh Al Qur’an. Istilah rahmatan lil-’alamin dipetik dari salah satu ayat Al Qur’an;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِين
Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-’aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS Al Anbiya’ : 107).
Dalam ayat itu,  “rahmatan lil-’alamin” secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rasul, kecuali karena kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat tersebut tidak sempurna.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi Salallahu ‘Alaihi Wa Sallam, pakar dalam Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-’alamin, Nabi Muhammad SAW diutus juga sebagai basyiiran wa nadziiran lil-’aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam) Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Furqan ayat 1 yang berbunyi:
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉtR ÇÊÈ  
Artinya: Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.[9]
Allah SWT juga berfirman dalam Al Qur’an surat Saba’ ayat 28 yang berbunyi:
!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ 
Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.[10].
Sebagai aplikasi dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-’alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-’alamin.
Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat disampaikan kepada umat lain, jika komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik.
Karena itu, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim.
Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.
Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-’alamin,Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka.
Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Ma’idah : 2).
Dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki kehidupan sosial yang kompleks dimasa sekarang ini, adanya perbedaan khususnya dalam hal persepsi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Upaya membangun persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud manakala paradigma keislaman tidak mengedepankan visi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam membangun perdamaian dunia hakiki. Akan tetapi banyak sekali penafsiran dan persepsi yang keliru mengenai konsep rahmatan lil’alamin itu sendiri.
Ayat Al Quran yang sering digunakan sebagai landasan untuk menyebut Islam sebagai rahmatan lil’alamin adalah Surat Al Anbiya ayat 107 yang berbunyi “Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh manusia)”. Ibnul Qayyim Al Jauziah menafsirkan ayat ini sebagai berikut : “Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat di sini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad. Kemanfaatan yang dimaksudkan disini memiliki makna yang berbeda untuk subjek yang berbeda. Untuk orang mukmin yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus. Akan tetapi untuk orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Sedangkan untuk orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Muhammad. Lain halnya untuk orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Rasulullah.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat.
Dalam pendapat lain, DR. Abdul Karim dalam tulisannya di situs al dakwah.org. Rahmat Allah itu harus dimaknai secara lebih luas dan termanifestasikan kedalam dua hal berikut ini :
Yang pertama adalah manhaj (ajaran), di antara rahmat Allah yang luas adalah manhaj atau ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw berupa manhaj yang menjawab kebahagiaan seluruh umat manusia, jauh dari kesusahan dan menuntunnya ke puncak kesempurnaan yang hakiki. Allah SWT berfirman, “Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),” (QS. Thahaa: 2-3). Di ayat lain, Dia berfirman, “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…,” (QS Al-Maidah: 3). Al Quran, Al Quran telah meletakkan dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran yang abadi dan permanen bagi kehidupan manusia yang selalu dinamis.
Kitab suci terakhir ini memberikan kesempatan bagi manusia untuk beristimbath (mengambil kesimpulan) terhadap hukum-hukum yang bersifat furu’iyah. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari tuntutan dinamika kehidupannya. Begitu juga kesempatan untuk menemukan inovasi dalam hal sarana pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi kehidupan, yang semuanya itu tidak boleh bertentangan dengan ushul atau pokok-pokok ajaran yang permanen. Dari sini bisa kita pahami bahwa Al Quran itu benar-benar sempurna dalam ajarannya. Tidak ada satu pun masalah dalam kehidupan ini kecuali Al Quran telah memberikan petunjuk dan solusi. Allah berfirman, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan,” (QS al-An’aam: 38). Dalam ayat lain berbunyi, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (QS an-Nahl: 89).
Yang kedua adalah penyempurna kehidupan manusia, di antara rahmat Islam adalah keberadaannya sebagai penyempurna kebutuhan manusia dalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Rahmat Islam adalah meningkatkan dan melengkapi kebutuhan manusia agar menjadi lebih sempurna, bukan membatasi potensi manusia. Islam tidak pernah mematikan potensi manusia, Islam juga tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati hasil karyanya dalam bentuk kebaikan-kebaikan dunia. “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS al-A`raf: 32). Islam memberi petunjuk mana yang baik dan mana yang buruk, sedang manusia sering tidak mengetahuinya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).
Jalan untuk kebaikan, rahmat dalam Islam juga bisa berupa ajarannya yang berisi jalan / cara mencapai kehidupan yang lebih baik, dunia dan akhirat. Hanya kebanyakan manusia memandang jalan Islam tersebut memiliki beban yang berat, seperti kewajiban sholat dan zakat, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, kewajiban memakai jilbab bagi wanita dewasa, dan sebagainya. Padahal Allah SWT telah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” (QS al-Baqarah: 286). Pada dasarnya, kewajiban tersebut hanyalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri,” (QS al-Isra’: 7).
Islam rahmatan lil alamin menghendaki agar Islam memiliki peran sebagai Agama yang di dalam praksisnya bisa menjadi penyejuk bagi seluruh alam.
Islam secara tekstual memang menghendaki agar para pemeluknya menerapkan kehidupan yang penuh rahmat. Kemudian hal tersebut teraplikasi  di dalam kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang dan juga mengedepankan kerukunan, keharmonisan dan keselamatan. Sebagai agama yang mengusung keramahan dan kerahmatan bagi semua makhluk.

KESIMPULAN

1.      Islam memiliki peran sebagai Agama yang dalam kehadirannya bisa menjadi penyejuk bagi seluruh alam.

2.      Rahmat Allah itu harus dimaknai secara lebih luas dan termanifestasikan kedalam dua hal  yaitu untuk kebahagiaan seluruh umat manusia, jauh dari kesusahan dan menuntunnya ke puncak kesempurnaan yang hakiki dan penyempurna manusia dalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini.

3.      Islam rahmatan lil alamin menghendaki agar Islam memiliki peran sebagai Agama yang di dalam praksisnya bisa menjadi penyejuk bagi seluruh alam teraplikasi  di dalam kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang dan juga mengedepankan kerukunan, keharmonisan dan keselamatan. Sebagai agama yang mengusung keramahan dan kerahmatan bagi semua makhluk.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam,  Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004

 Ali Abdul Hasan,  Islam Membangun Peradaban Dunia,  Jakarta,  Dunia Pustaka Jaya, 1988
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan penyelenggara Penterjemah Al Qur’an,  Jakarta, 1987, Hal 30

Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978, Hal. 46
Endang Saepudin, Kuliah Al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,  Jakarta,  Rajawali, 1976
Hammudah Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications Indianapolis-Indiana, 1975, Hal 7

Ibrahum Abdurrahman Nudzakir, Panduan Singkat Memahami Islam, Publishe,  2005


Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1989, Hal  56-57


 Yusuf Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam. Bandung,  Mizan Pustaka, 2002



[1] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan penyelenggara Penterjemah Al Qur’an,  Jakarta, 1987, Hal 30
[2] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1989, Hal  56-57.
[3] Hammudah Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications Indianapolis-Indiana, 1975, Hal 7.
[4] Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978, Hal. 46

[5] Mahmud Yunus, Al-Qamuuru Allughatul ‘arobiyah , Kalam Mulia, Jakarta, 2008, hal 123
[6] Hasanuddin, Sejarah kebudayaan islam kelas 2 aliyah, Toha Putra, Jakarta, 1994, hal 112
[7] Ibid, Hal  508
[8] Ibrahum Abdurrahman Nudzakir, Panduan Singkat Memahami Islam, Publishe,  2005
[9] Ibid, Hal 559
[10] Ibid, Hal 688